Dalam keputusan tersebut, Mahkamah Konstitusi telah secara jelas mengkonstruksikan syarat bagi perseorangan yang merupakan mantan terpidana untuk menjadi peserta Pemilu yang dalam putusan tersebut, diuraikan untuk dapat dipahami pada bagian pertimbangan putusan, sebagai sikap konkrit untuk mendudukkan keadilan dengan menyamakan syarat bagi mantan terpidana yang akan berkontestasi dalam jabatan-jabatan yang dipilih melalui pemilu.
Pada pokoknya Mahkamah Konstitusi kemudian memberikan pertimbangan terhadap ketentuan Pasal 182 huruf g, yang didalam memaknainya harus dibaca satu nafas antara Pasal 182 huruf g (i), (ii), dan (iii), sebab pembacaan secara terpisah akan menimbulkan distorsi makna dan menghilangkan esensi makna keseluruhan ayat tersebut dan ruh yang mendasari perumusannya.
Dari pertimbangan Mahkamah Konstitusi tersebut, dapatlah diketahui bahwa ketentuan tersebut telah secara jelas membedakan konstruksi ancaman pemidanaan antara tindak pindana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih yang atasnya dikenai syarat jeda 5 (lima) tahun bagi terpidana yang telah menjalaninya dan ingin berkontestasi kembali sebagai peserta pemilu dengan tindak pidana yang ancaman pidananya maksimal 5 (lima) tahun atau lima tahun ke bawah yang perlu Mahkamah tegaskan tidak termasuk dalam cakupan yang dikenai syarat jeda 5 (lima) tahun bagi terpidana yang menjalaninya, secara gambling kemudian dapat dipahami.
Bahwasannya angka pidana 5 (lima) tahun dalam konteks a quo yang menjadi titik temu kedua ancaman pidana tersebut tidak dapat dimaknai sebagai ancaman pidana maksimal 5 (lima) tahun, sebab dua jenis ancaman pidana dimaksud memiliki garis demarkasi yang jelas terpisah dan tidak berarsiran satu sama lain sehingga haruslah dibedakan antara ancaman pidana 5 (lima) tahun atau lebih dengan ancaman pidana maksimal 5 (lima) tahun.