Suliono, menekankan filosofi sederhana namun mendalam di balik tradisi memasak jenang bersama. Acara ini menjadi fondasi simbolis persatuan sebelum rangkaian acara dilanjutkan malam harinya.
Malam Tirakatan: Rembuk Adat, Laporan Capaian, dan Doa Lintas Iman, memasuki pukul 19.00 WIB, suasana sakral mengiringi acara malam tirakatan yang berpusat di balai desa. Acara diawali dengan Rembuk Adat, sebuah forum musyawarah khas yang menjadi ciri Tulungrejo. Berbagai elemen masyarakat, lintas agama, golongan, dan usia, membaur dalam satu ruang dialog. Kades Suliono menyambut seluruh tamu dan peserta dengan hangat.
Dalam sambutannya, Suliono menegaskan pentingnya pelestarian adat istiadat. “Adat dan budaya adalah roh, adalah kekuatan yang menyangga desa kita. Melestarikannya berarti menjaga identitas dan ketahanan masyarakat Tulungrejo,” tegasnya. Forum rembuk adat ini juga dimanfaatkan Suliono untuk menyampaikan capaian pembangunan desa selama setahun terakhir serta agenda penting mendatang, transparansi yang diapresiasi warga.
Suasana khidmat semakin terasa saat dilantunkan doa bersama lintas agama dan kepercayaan oleh perwakilan masing-masing umat beragama yang ada di desa. Momen ini menjadi bukti nyata kerukunan dan toleransi yang hidup di Tulungrejo.
Jamas Pusaka: Menyucikan Makna, Bukan Hanya Benda, Puncak acara malam itu adalah ritual “Jamas Pusaka” (cuci pusaka). Yang membuat ritual di Tulungrejo unik adalah konsep “pusaka” yang sangat luas dan inklusif. Benda yang disucikan bukan hanya terbatas pada keris, tombak, atau kujang, melainkan meliputi berbagai benda keseharian yang dianggap sarat makna dan nilai sejarah oleh pemiliknya.
Terlihat warga membawa berbagai macam benda untuk dijamas: sapu ijuk aren (sodo), wadah anyaman (gerang), dompet kuno, hingga selendang batik tua. Keberagaman benda pusaka ini mencerminkan kearifan lokal yang mendalam.