Densus 88 Tegaskan Ledakan SMAN 72 Bukan Aksi Teror, Pelaku Hanya Terinspirasi dari Luar Negeri

  • Bagikan

JAKARTA  – Polda Metro Jaya mengungkapkan temuan baru terkait kasus ledakan di Masjid SMAN 72 Kelapa Gading, Jakarta Utara. 

Polisi menyebut bahwa terduga pelaku, yang berstatus Anak Berhadapan dengan Hukum (ABH), sering merasa sendiri dan tidak memiliki tempat untuk bercerita tentang keluh kesahnya.

“Yang kami peroleh dari hasil penggalian keterangan maupun petunjuk-petunjuk yang ada, bahwa ABH terdapat dorongan untuk melakukan peristiwa hukum tersebut,” kata Dirkrimum Polda Metro Jaya, Kombes Iman Imanuddin, dalam konferensi pers pada Selasa, 11 November 2025.

“Yang bersangkutan merasa sendiri, kemudian tidak ada yang menjadi tempat untuk menyampaikan keluh kesahnya,” imbuhnya.

Iman menambahkan, kondisi tersebut terjadi baik di lingkungan keluarga maupun sekolah.

Minimnya ruang komunikasi membuat pelaku diduga menyalurkan tekanan psikologisnya dengan cara yang berujung pada peristiwa tragis tersebut.

“Baik itu di lingkungan keluarga maupun di lingkungan sekolah,” sambung Iman.

Polisi Tegaskan Tidak Ada Keterkaitan dengan Jaringan Teror

Dalam kesempatan yang sama, Kapolda Metro Jaya Irjen Pol Asep Edi Suheri menegaskan bahwa pelaku tidak terhubung dengan jaringan teror tertentu. 

Asep menekankan bahwa peristiwa ini bukan bagian dari aksi terorisme terorganisasi, melainkan tindakan individual dari seorang siswa yang bertindak secara mandiri.

“Diketahui sebagai siswa SMA aktif yang bertindak secara mandiri dan tidak terhubung dengan jaringan teror tertentu,” ujar Asep.

Meski demikian, penyidik menemukan bahwa pelaku memiliki ketertarikan terhadap konten kekerasan di dunia maya. 

Hal ini dinilai sebagai salah satu faktor yang memengaruhi pola pikir dan perilakunya.

“Berdasarkan keterangan yang kami himpun, ABH dikenal sebagai pribadi yang tertutup dan jarang bergaul,” lanjut Asep.

“Dia juga memiliki ketertarikan dengan konten kekerasan serta hal-hal yang ekstrem,” pungkasnya.

Latar Belakang Sosial Jadi Fokus Pemeriksaan

Keterangan dari penyidik menyoroti bahwa faktor psikologis dan sosial menjadi bagian penting dalam penanganan kasus ini. 

Polisi kini bekerja sama dengan lembaga terkait, termasuk tim trauma healing dan Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), untuk memastikan proses hukum berjalan dengan mempertimbangkan usia dan kondisi mental pelaku.

Temuan bahwa pelaku merasa terisolasi menambah fokus pemerintah dan aparat terhadap pentingnya pendampingan psikososial di lingkungan sekolah.

Hingga kini, Polda Metro Jaya masih terus mendalami motif di balik tindakan tersebut, termasuk memeriksa latar belakang keluarga, aktivitas media sosial, dan jejak digital pelaku. 

Polisi menegaskan penanganan dilakukan secara hati-hati dengan pendekatan hukum yang tetap memperhatikan perlindungan anak.

  • Bagikan
Exit mobile version