ACEH — Satu bulan pasca-bencana banjir dan longsor, pulihnya akses transportasi justru menjadi tantangan terberat di sejumlah wilayah. Di Kabupaten Bener Meriah, Aceh, kondisi ini memaksa Pemerintah Kabupaten memperpanjang status tanggap darurat untuk ketiga kalinya, hingga 30 Desember 2025.
Fokusnya kini tertuju pada Kecamatan Syiah Utama, di mana akses jalan utama yang putus masih menyisakan 14 kampung yang sulit terjangkau. Distribusi bantuan untuk ribuan warga terdampak pun harus melalui medan yang berbahaya.
“Jembatan Titian Nyawa” dan Ritual Bongkar Muat Bantuan
Di lapangan, relawan dan warga bersama anggota TNI-Polri telah membangun jembatan darurat dari bahan seadanya untuk menyambung wilayah yang terputus. Namun, jembatan ini rapuh dan berisiko tinggi.
“Jembatan darurat itu hanya mampu menahan beban ringan. Setiap kali mobil logistik mau masuk, kami harus melakukan bongkar muat parsial,” jelas M. Iqbal, Koordinator Relawan Untuk Bener Meriah (RUBEMA), saat diwawancarai via sambungan telepon satelit. “Muatan diturunkan dulu, diangkut manual lewat jembatan oleh relawan dan warga, lalu dimuat kembali ke kendaraan di seberang. Prosesnya memakan waktu berjam-jam dan sangat melelahkan.”
Ia menambahkan, sebelum jembatan darurat ini dibangun, warga hanya mengandalkan titian kayu untuk berjalan kaki, memikul barang seadanya.
Pemerintah Daerah: Upaya Perbaikan Akses Terus Dikebut
Sekretaris Daerah (Sekda) Kabupaten Bener Meriah, Dr. H. Ahmadi, M.Si., mengakui kompleksnya permasalahan akses ini. “Kami menyadari betul kesulitan yang dihadapi. Tim dari Dinas Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) sudah diterjunkan ke titik-titik kritis,” ujarnya saat dikonfirmasi.
“Prioritas kami adalah membuka akses logistik darurat yang aman. Namun, medan yang rusak parah dan cuaca yang belum sepenuhnya stabil menjadi kendala serius. Perpanjangan masa darurat ini penting untuk memaksimalkan koordinasi dan percepatan distribusi,” papar Ahmadi.
Duka yang Berlapis: Listrik Padam, Ladang Hancur, dan Ancaman Banjir Susulan
Bagi warga seperti Siti Aminah (45) dari Kampung Tembolon, isolasi ini membawa dampak berlapis. “Sudah sebulan hidup dalam kegelapan karena listrik belum menyala. Yang paling menghancurkan, sawah dan kebun kopi keluarga habis tertimbun longsor dan batu. Tidak ada yang tersisa untuk masa depan,” keluhnya.
Kekhawatiran baru juga muncul. Pada Rabu (24/12) malam, dua desa lain, Buntul dan Lampahan, kembali diterjang banjir susulan akibat hujan deras, menunjukkan kerentanan wilayah yang masih tinggi.
Data Terkini: Puluhan Ribu Jiwa Masih Terjebak Isolasi
Berdasarkan data terbaru dari Posko Penanganan Darurat Bencana Bener Meriah per 26 Desember 2025, sebanyak 35.611 jiwa yang tersebar di 58 desa dari 6 kecamatan masih hidup dalam kondisi terisolir. Mereka sangat bergantung pada distribusi bantuan eksternal yang datang tak menentu.
Relawan di lapangan terus mendorong agar perhatian dan bantuan tidak hanya terpusat di titik-titik yang mudah dijangkau. “Jangan lupakan mereka yang di ujung jalan yang putus. Bantuan pangan, obat-obatan, tenda, dan generator listrik masih sangat dibutuhkan,” pungkas Iqbal dari RUBEMA.
Perjuangan warga Bener Meriah untuk bangkit masih sangat panjang. Membuka akses bukan hanya soal membangun jalan dan jembatan, tetapi juga membuka jalan untuk harapan dan pemulihan kehidupan mereka.
Sc/Hr
