JAKARTA – Indonesian Corruption Watch (ICW) mengkritisi langkah pemerintah dalam hal perencanaan setiap proyek negara, contohnya adalah Kereta Cepat Jakarta-Bandung (KCJB) atau Whoosh.
Hal tersebut diungkap oleh aktivis dan peneliti ICW, Almas Sjafrina, dalam tayangan podcast bersama Bambang Widjojanto.
Ditambah lagi saat ini Whoosh tengah jadi sorotan karena pembengkakan utang kepada China hingga Rp116 triliun.
Penyelesaian Utang Harus Dipikirkan Sebelum Proyek Berjalan
Utang Whoosh mencuat setelah Direktur Utama PT KAI (Persero) Bobby Rasyidin menyebutnya sebagai bom waktu dan Menteri Keuangan (Menkeu) Purbaya Yudhi Sadewa yang tegas menyatakan tak ma membayar lewat APBN.
Polemik utang yang kini ramai, menurut Almas seharusnya sudah diantisipasi sebelum proyek Whoosh resmi dijalankan.
“Yang membuat bingung kok sekarang baru ribut gimana cara bayarnya, ini harusnya sudah dipikirkan sebelum programnya, proyeknya jalan,” kata Almas dikutip dari video yang diunggah di kanal YouTube Bambang Widjojanto pada Rabu, 12 November 2025.
“Sebetulnya, ini menunjukkan bagaimana pemerintah kita itu belum matang di level perencanaan persiapan udah jalan duluan,” lanjutnya.
Proyeksi Penghitungan soal Whoosh yang Meleset
Almas menambahkan bahwa akibat dari perencanaan yang kurang tepat itu membuat perhitungannya meleset ketika proyek Whoosh mulai berjalan.
“Makanya, ada penghitungan yang meleset, berapa sih proyeksi pendapatan dari Whoosh yang harapannya itu bisa membantu untuk membayar ke China dan sebagainya,” ucapnya.
“Problem pertama menurut saya di situ adalah perencanaan dan persiapannya,” imbuh Almas.
Menurutnya, sebelum proyek Whoosh dimulai, harus ada kajian panjang dan mendalam.
“(Kajian) soal kebutuhannya, siapa target penumpangnya. Padahal, kalau perencanaan beres, 50 persen pekerjaan itu sudah selesai,” tuturnya.
ICW Tagih Kajian soal Whoosh
Dengan isu Whoosh yang tengah ramai, Almas menyebutnya sebagai momentum untuk meminta pada pemerintah agar terbuka soal kajian Whoosh.
“Soal Jakarta-Bandung ini kan ada opsi transportasi publik ya. Ada kereta, travel, dan segala macem. Mobil pribadi cuma berapa jam, jadi kan harus melewati hitung-hitungan yang rigid, kan,” terang Almas.
Almas pun tak menampik bahwa ada manfaat yang diberikan oleh Whoosh, seperti waktu tempuh yang terpangkas lebih cepat dari sebelumnya.
“Orientasi atau pertimbangan untuk mengeluarkan kebijakan yang ada dampak jangka panjangnya, apalagi utang, itu harus rigid bener tuh persiapan dan kajiannya,” tegasnya.
Polemik Utang Whoosh
Sebelumnya, Managing Director Political Economy and Policy Studies (PEPS), Anthony Budiawan, membeberkan bahwa proyek Whoosh ini awalnya Jepang yang menawarkan nilai proyek 6,2 miliar dolar Amerika dan China dengan 5,5 miliar dolar Amerika yang kemudian berkembang menjadi 6,07 miliar dolar Amerika di mana selisihnya sekitar 570 juta dolar Amerika.
Kerja sama pemerintah Indonesia kemudian berlanjut dengan China senilai 6,07 miliar dolar Amerika dan masih mengalami pembengkakan karena ada biaya cost overrun sebesar 1,2 miliar dolar Amerika, sehingga totalnya menjadi 7,27 miliar dolar Amerika.
Dari total biaya tersebut, 75 persen pinjam dari China Development bank dan 25 persen lainnya merupakan setoran modal pemegang saham, yaitu gabungan dari PT Pilar Sinergi BUMN Indonesia (PSBI) sebanyak 60 persen dan Beijing Yawan HSR Co. Ltd. sebanyak 40 persen.
Pelunasan utang Whoosh pada China kini juga tengah didiskusikan oleh Danantara dengan negosiasi restrukturisasi pembayaran utang dari 40 tahun menjadi 60 tahun.
***
















