JAKARTA – Wacana redenominasi rupiah 1.000:1 yang kembali disampaikan Menteri Keuangan (Menkeu) Purbaya Yudhi Sadewa menempatkan Indonesia pada persimpangan kebijakan yang tidak sederhana.
Di satu sisi, pemerintah menargetkan kerangka regulasi redenominasi rampung sekitar 2026–2027 dan di sisi lain, implementasinya menuntut kesiapan fiskal, moneter, teknis, dan psikologis masyarakat yang tidak bisa setengah hati.
Sebagai Anggota Komisi XI DPR RI yang membidangi keuangan negara, Harris Turino memandang bahwa keberhasilan redenominasi ditentukan bukan oleh banyaknya nol yang dihapus, melainkan oleh seberapa kuat fondasi makro dan seberapa disiplin proses transisinya.
Secara makro, Indonesia memang sedang berada pada lingkungan yang relatif kondusif.
Inflasi IHK per Oktober 2025 berada di 2,86% (yoy), dalam rentang yang aman untuk kebijakan yang sangat sensitif secara psikologis.
Bank Indonesia juga menegaskan bahwa stabilitas harga terjaga. Proyeksi IMF menempatkan pertumbuhan ekonomi Indonesia 2025–2026 pada kisaran moderat, sekitar 4,9%, sementara inflasi diperkirakan tetap rendah.
Rasio utang pemerintah sekitar 40% PDB, masih jauh dari batas risiko internasional, walaupun DSRnya juga sudah mencapai kisaran 40%.
Kondisi ini menyediakan ruang bagi pemerintah untuk mempertimbangkan redenominasi tanpa tekanan makro yang ekstrem.
*Menilik Pengalaman Negara Lain: Stabilitas Jangka Pendek Saja Belum Cukup*
Turki berhasil memangkas enam nol pada 2005 karena proses stabilisasi inflasinya kuat, kredibilitas otoritas moneter tinggi, dan transisi dilakukan bertahap melalui mata uang sementara (YTL) sebelum kembali ke TL.
Romania dan Ghana menunjukkan bahwa edukasi publik yang intensif dan masa harga ganda yang cukup panjang mencegah kekacauan persepsi harga.
Sebaliknya, Zimbabwe membuktikan bahwa redenominasi tanpa disiplin fiskal, tanpa stabilisasi inflasi, dan tanpa kepercayaan publik hanya menimbulkan krisis berulang.
Kesimpulan internasionalnya jelas, yaitu redenominasi bukan obat masalah fiskal atau inflasi, tetapi hanya berhasil ketika penyakit dasarnya sudah sembuh.
Kompleksitas teknis Indonesia saat ini jauh lebih tinggi dibanding satu dekade lalu di mana rupiah hidup di berbagai ekosistem: uang kartal, saldo rekening, e-wallet, QRIS dengan puluhan juta pengguna, sistem e-commerce, hingga smart contract dan aset digital yang merujuk nilai rupiah.
“Oleh karena itu, redenominasi bukan sekadar mencetak uang baru, tetapi menuntut sinkronisasi nominal pada miliaran entri data di sistem pembayaran, perbankan, merchant aggregator, treasury, platform perdagangan aset digital, dan sistem akuntansi pemerintahan pusat maupun daerah,” ujar Harris.
Risiko teknisnya nyata: kesalahan pembulatan, perbedaan konversi antar-sistem, gangguan transaksi, hingga potensi kerentanan siber.
*Perkuat Kerangka Hukum Sebelum Redenominasi*
Mahkamah Konstitusi telah menegaskan bahwa perubahan harga rupiah adalah domain undang-undang, bukan sekadar regulasi teknis.
Menurutnya, RUU Redenominasi harus disiapkan bersama BI, OJK, pelaku industri keuangan, dan pemda.
Tahapan transisi, mulai dari harga ganda, masa penarikan uang lama, pembulatan harga, perlindungan konsumen, hingga audit konversi sistem pembayaran, harus diatur secara presisi.
Dengan semua analisa tersebut, yang lebih penting bukan sekadar ‘setuju atau tidak setuju,’ tetapi apakah kita siap menghadapi dampak jangka pendek dan mampu memetik manfaat jangka panjang.
*Dampak Jangka Pendek: Gangguan Psikologis dan Teknis Tidak Terhindarkan*
Dalam jangka pendek, redenominasi hampir pasti menimbulkan gejolak persepsi harga dan memunculkan fenomena money illusion sering terjadi di negara-negara yang melakukan redenominasi, seperti Ghana dan Brazil.
Masyarakat merasa harga berubah padahal hanya format angka yang berbeda.
Menurutnya, hal tersebut bisa memicu pembulatan harga ke atas, terutama di sektor UMKM yang pencatatannya manual.
Tanpa pengawasan harga yang kuat, efeknya dapat menyerupai inflasi ringan meskipun bukan inflasi fundamental.
Biaya penyesuaian bagi dunia usaha juga tidak kecil karena sistem POS, label harga, invoice, aplikasi pembukuan, kontrak pinjaman, dan tarif layanan harus diperbarui.
Di sektor digital, perbankan, e-wallet, dan payment gateway harus melakukan konversi serentak dalam jendela waktu yang sangat pendek agar tidak terjadi kekacauan transaksi.
Risiko teknis, termasuk gangguan sistem atau kesalahan konversi, tidak dapat dikesampingkan.
Bagi pemerintah, masa awal transisi memerlukan biaya logistik besar, yaitu pencetakan uang baru, penarikan uang lama, pembaruan ATM, edukasi publik, serta pengawasan harga.
Biaya ini tidak hanya fiskal, tetapi juga reputasional karena sedikit saja kesalahan dapat menurunkan kepercayaan publik terhadap rupiah.
*Dampak Jangka Panjang: Modernisasi Sistem Nilai dan Efisiensi Nasional*
Meski jangka pendek penuh tantangan, redenominasi menawarkan manfaat jangka panjang yang signifikan.
“Pertama, penyederhanaan digit memperkuat persepsi stabilitas rupiah. Negara-negara seperti Turki dan Romania mengalami peningkatan kredibilitas moneter setelah redenominasi sukses,” kata Harris.
“Kedua, sistem pembayaran akan menjadi lebih efisien karena mengolah angka lebih pendek menurunkan beban komputasi dan risiko kesalahan, ini penting ketika transaksi digital Indonesia tumbuh pesat,” tambahnya.
Lalu yang ketiga, menurut Harris adalah pelaporan keuangan pemerintah dan dunia usaha menjadi lebih ringkas dan mudah diinterpretasi dan keempat, redenominasi membuka kesempatan besar untuk meningkatkan literasi harga masyarakat.
Pada level tertentu, redenominasi juga dapat mempengaruhi persepsi investor internasional terhadap manajemen moneter Indonesia, terutama jika dikombinasikan dengan kebijakan makro yang disiplin.
Namun, semua manfaat ini hanya dapat diperoleh bila prasyaratnya dipenuhi, yaitu stabilitas harga terjaga, kepercayaan publik tinggi, dan konversi teknis berjalan tanpa gangguan sistemik.
*Apakah Momentum Ini Tepat?*
“Pertanyaannya kemudian apakah ini momentum yang tepat? Indonesia sedang berada pada persimpangan yang rumit. Inflasi stabil dan digitalisasi ekonomi berkembang pesat, tetapi di sisi lain ketidakpastian global terus meningkat, mulai dari perlambatan ekonomi dunia, tensi geopolitik, perang dagang, hingga volatilitas harga komoditas,” paparnya.
Kondisi-kondisi tersebut, menurutnya dapat memengaruhi nilai tukar dan sentimen masyarakat terhadap rupiah. Karena itu, kehati-hatian diperlukan.
“Pemerintah perlu menyiapkan kerangka hukumnya sekarang, menuntaskan rancangan regulasi, dan melakukan pengujian sistem secara bertahap. Namun, penetapan tanggal implementasi harus bersifat kondisional, bergantung pada stabilitas inflasi, kesehatan fiskal, kesiapan sistem pembayaran, dan kepercayaan publik,” jelas Kapoksi PDI Perjuangan itu.
“Redenominasi tidak boleh menjadi proyek kosmetik atau simbol stabilitas semu, ia harus menjadi bagian dari modernisasi ekonomi nasional yang terukur dan strategis,” sambungnya.
Sebagai penutup, Harris menyatakan bahwa redenominasi bukan jalan pintas memperkuat rupiah.
“Daya beli ditentukan oleh inflasi dan produktivitas, bukan jumlah nolnya, namun jika kita menggunakannya sebagai proyek modernisasi sistem pembayaran dan literasi harga nasional, di atas fondasi stabilitas yang kuat, kebijakan ini bisa meningkatkan efisiensi ekonomi dan kenyamanan publik tanpa menimbulkan kegaduhan,” terangnya.
“Itulah komitmen yang akan saya kawal sebagai Wakil Rakyat di Komisi XI: memastikan momentum yang dipilih adalah momentum yang siap bukan sekadar yang ramai dibicarakan,” tandasnya.
