Pakar Hukum Buka Suara: Kritik Syarat Presiden lewat Kasus Ijazah Jokowi adalah Kepentingan Umum

  • Bagikan
Pakar hukum menyebut kasus ijazah Jokowi untuk kepentingan negara. (Instagram/jokowi)
Pakar hukum menyebut kasus ijazah Jokowi untuk kepentingan negara. (Instagram/jokowi)

Jakarta, Jatimhits.com – Pakar hukum Teuku Nasrullah buka suara mengenai polemik tudingan ijazah palsu Joko Widodo (Jokowi).

Terlebih setelah penetapan 8 tersangka dalam dua klaster dilakukan oleh Polda Metro Jaya sejak 7 November 2025.

Teuku mengatakan bahwa pembuktian palsu atau aslinya dalam proses hukum ada dua mekanisme.

“Saya bisa membuktikan bahwa itu palsu, saya membawa bukti-bukti atau saya tidak bisa membuktikan itu palsu,” ujar Teuku Nasrullah dikutip saat hadir dalam acara Indonesia Lawyers Club Reborn pada Sabtu, 15 November 2025.

Teuku kemudian mengibaratkan dengan baju palsu Karni Ilyas dengan mengatakan bahwa ia bisa dituntut balik jika ada pembuktian secara hukum.

Pembuktian dengan Penerbit Ijazah

Teuku mengatakan mekanisme untuk membuktikan keaslian dengan mengundang penerbit.

“Penerbit menyampaikan kepada aparat penegak hukum ini speknya dan dalam proses penegakan hukum diuji dengan pemikiran-pemikiran keahlian, para ahli dihadirkan untuk menguji itu,” ucap Teuku.

“Bahkan ada pakar yang berpendapat bahwa baru bisa dihukum ujaran apa fitnah atau pencemaran nama baik kepada si penuduh bahwa baju Pak Karni itu palsu setelah dapat dibuktikan bahwa baju Pak Karni itu adalah asli,” jelasnya.

Menurut Teuku, penggunaan pasal pencemaran nama baik yang berkaitan dengan suatu tuduhan fitnah, harus dibuktikan bahwa tuduhan itu tidak benar.

Kasus Ijazah Jokowi untuk Kepentingan Umum

Teuku lantas menyampaikan adanya Pasal 310 Ayat 4 dan diadopsi oleh Undang-Undang ITE Pasal  27 yang menyatakan bahwa tidak menjadi pencemaran nama baik atau tertulis jika dilakukan demi kepentingan umum.

“Nah, kita melihat apakah sebenarnya kasus ijazah palsu Pak Jokowi ini tidak dikaitkan dengan kepentingan pribadi Pak Jokowi, lebih kepada persyaratan yang ditentukan oleh KPU dalam pencalonan sebagai Presiden Republik Indonesia,” terang Teuku.

“Apakah kritisi sebagai syarat presiden itu masuk kategori kepentingan umum atau tidak?” sambungnya.

Menurutnya, hal tersebut adalah bagian untuk kepentingan negara dan kepentingan umum yang tidak terulang lagi jika terbukti palsu.

Ingatkan untuk Hindari Kesalahan dalam Penegakan Hukum

Teuku mengingatkan bahwa dalam penegakan hukum tidak boleh ada moral hazard.

“Tidak boleh ada moral hazard dalam penegakan hukum. Masukkan aja dulu, nanti nggak terbukti nggak apa-apa, yang penting kita sudah bisa tahan,” sambungnya.

“Nanti dihitung-hitung masa penahanan, dipas-paskan dengan masa penghukuman, itu adalah problem moral hazard di dalam penegakan hukum,” lanjut Teuku.

Oleh karena itu, kata Teuku harus ada perlawanan kepada aparat penegak hukum yang asal-asalan memberikan pasal.

“Tidak boleh ada satu orang pun yang membiarkan keadaan itu, itu harus kita lawan,” lanjutnya.

“Kalau kita cinta dengan aparat penegak hukum, kita cinta dengan Polri, kita cinta dengan Kejaksaan, hindari penggunaan pasal-pasal yang sekadar menjadi cantolan dalam penegakan hukum,” tuturnya.

Sementara itu, ada pembagian klaster pertama dalam penetapan tersangka dengan inisial ES, KTR, MRF, RE, dan DHL dikenakan Pasal 310, Pasal 311, Pasal 160 KUHP, Pasal 27a Juncto Pasal 45 Ayat 4, Pasal 28 Ayat 2 Juncto Pasal 45a Ayat 2 Undang-Undang ITE.

Kemudian untuk klaster kedua ada 3 orang, yakni RS, RHS, dan TT dengan dikenakan Pasal 310, Pasal 311 KUHP, Pasal 32 Ayat 1 Juncto Pasal 48 Ayat 1, Pasal 35 Juncto Pasal 51 Ayat 1, Pasal 27a Junto Pasal 45 Ayat 4, Pasal 28 Ayat 2 Juncto Pasal 45a Ayat 2 Undang-Undang ITE.

  • Bagikan
Exit mobile version