Memahami kaidah sebagaimana tersebut, maka ketika terdapat suatu polemik problematik didalam masyarakat, mengenai berbagai macam hal, untuk mendapatkan kepastian yang relative fair bagi semua pihak, dengan mengesampingkan rasa suka ataupun tidak suka, polemik problematik yang ada haruslah disimak secara sederhana dengan menggunakan perspektif hukum.
Sudah terjadi dan bukan tidak mungkin akan kembali terjadi, hiruk pikuk pada perdebatan pro dan kontra adanya mantan narapidana yang akan turut serta berkontestasi sebagai calon Kepala Daerah, tentu saja khalayak ramai akan memiliki beragam penilaian dengan bermacam-macam perspektif, dari yang menyebut layak sampai menganggab tidak layak, bahkan untuk sekedar menjadi calon belum sampai dipilih, dan ternyata fenomena ini secara konkrit terbaru terjadi di Kota Malang.
Menanggapi fenomena tersebut, bukan dalam arti mendukung akantetapi membaca permasalahan secara sederhana terkait keberadaan Abah Anton sebagai bakal calon Walikota Malang, sedang beliau merupakan mantan terpidana, maka demi mendapatkan kepastian yang relative fair bagi semua pihak baik yang suka maupun tidak suka, haruslah secara sederhana menyimak norma hukum yang berkaitan.
Sebagaimana putusan perkara No.94/Pid.Sus/2018/PN.Sby Tgl 10 Agustus 2018 Abah Anton dinyatakan terbukti bersalah melanggar Pasal 5 ayat (1) huruf a UU 31/1999 sebagaimana telah diubah dengan UU 20/2001 dijatuhi pidana penjara 2 (dua) tahun dan denda Rp 100.000.000 (seratus juta rupiah).