Oleh : Nizar Fahmi, S.H
Dalam pelaksanaan pemilihan umum (Pemilu), netralitas penyelenggara pemilu merupakan hal yang sangat penting untuk menjaga keadilan, kejujuran, dan demokrasi yang sehat. Namun, dalam beberapa kasus, terdapat dugaan kecurangan yang dilakukan oleh oknum tertentu di Panitia Pemilihan Kecamatan (PPK) dan Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang terungkap berdasarkan investigasi Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu).
Salah satu bentuk kecurangan yang sering diungkapkan adalah manipulasi hasil penghitungan suara untuk memenangkan calon legislatif (caleg) tertentu dengan cara pengambilan atau penggeseran suara dari partai lain.
Kasus ini terjadi ketika suara yang seharusnya dialokasikan untuk partai atau caleg lain justru disalahgunakan oleh oknum penyelenggara pemilu, khususnya PPK, untuk menguntungkan caleg tertentu.
Kecurangan ini tidak hanya melibatkan oknum di tingkat PPK, tetapi juga melibatkan beberapa oknum individu di dalam KPU yang berperan dalam memfasilitasi atau menutup mata terhadap manipulasi tersebut. Tindakan ini bertentangan dengan prinsip transparansi dan akuntabilitas yang harus dijunjung tinggi dalam setiap tahapan pemilu.
Contoh Kasus :
Pada tanggal 14 Fabruari 2024 saat diadakan pemilihan umum (DPR RI, DPRD Provinsi, DPRD Kota/Kabupaten, dan DPD), beberapa hari setelah pencoblosan Pemilu dan dipindahan ke Kecamatan untuk perhitungan ulang disetiap kelurahan, terjadi kecurangan di PPK kecamatan Blimbing yang berlanjut pada rekapitulasi tingkat kota.
Pasalnya telah terjadi perpindahan suara partai ke caleg tertentu yang terjadi di beberapa TPS pada Kecamatan Blimbing dan hal tersebut terjadi di Partai PDI Perjuangan.
Sehingga oknum Caleg yang seharusnya tidak mendapatkan kursi menjadi mendapatkan kursi dan menyingkirkan Caleg kompetitornya yang secara faktual mendapatkan suara lebih banyak dari oknum Caleg tersebut.
Hasil perhitungan suara Kecamatan Blimbing DPRD Kota Dapil 2, suara Partai PDI-P yang seharusnya 4.068 berkurang menjadi 3.696, dan suara Oknum yang melakukan kecurangan/memindahkan suara yang hasil awalnya 2.857 bertambah menjadi 3.233.
Selanjutnya Bawaslu kota Malang telah melakukan pengawasan perhitungan ulang yang dilakukan di Hotel Shangri-La Surabaya, dengan Formulir Model A Laporan Hasil Pengawasan Pemilu Nomer : 053/LHP/PM.01.02/JI.34/08/03/2024, dan Bawaslu juga mengeluarkan Putusan Nomer : 003/LP/ADM.PL/BWSL.KOTA/16.06/III/2024 “yang telah menyatakan bahwa pihak KPU sebagai terlapor terbukti secara sah dan menyakinkan melakukan perbuatan melanggar tata cara, prosedur, dan mekanisme pada pelaksaanan rekapitulasi hasil perhitungan perolehan suara tingkat kabupaten/kota”. Namun hal tersebut tidak dapat merubah keadaan juga.
Dasar Hukum Pidana :
Dalam konteks pidana kecurangan pemilu dapat dijerat dengan beberapa ketentuan hukum. Menurut Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, beberapa pasal mengatur tentang sanksi pidana bagi mereka yang melakukan manipulasi suara, yaitu:
Pasal 532: Setiap orang yang dengan sengaja merusak, menghancurkan, atau menghilangkan surat suara, alat pemungutan suara, dan/atau perlengkapan pemilu lainnya, atau mengubah hasil penghitungan suara dengan cara yang melawan hukum, diancam pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan denda paling banyak Rp48.000.000,00 (empat puluh delapan juta rupiah).
Pasal 533: Setiap orang yang dengan sengaja melakukan tindakan yang menyebabkan terganggunya jalannya proses pemilu, diancam dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp36.000.000,00 (tiga puluh enam juta rupiah).
Selain itu, Pasal 547 menyebutkan bahwa setiap anggota KPU, KPU Provinsi, KPU Kabupaten/Kota, PPK, PPS, dan KPPS yang dengan sengaja membuat penghitungan suara yang tidak benar atau yang memanipulasi hasil pemilu dapat dikenakan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan denda paling banyak Rp72.000.000,00 (tujuh puluh dua juta rupiah).
Dasar Hukum Perdata :
Dari sisi hukum perdata, tindakan manipulasi suara ini dapat digugat berdasarkan Perbuatan Melawan Hukum (PMH) sebagaimana diatur dalam Pasal 1365 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata), yang menyatakan bahwa “Setiap perbuatan melawan hukum yang membawa kerugian kepada orang lain, mewajibkan orang yang karena kesalahannya menerbitkan kerugian itu, untuk mengganti kerugian tersebut.” Dengan demikian, pihak yang merasa dirugikan oleh tindakan ini, seperti partai politik atau caleg yang kehilangan suara akibat manipulasi, dapat mengajukan gugatan ganti rugi atas dasar perbuatan melawan hukum.
Lebih lanjut, pelanggaran terhadap asas pemilu yang jujur dan adil juga dapat dipandang sebagai pelanggaran terhadap hak-hak sipil yang diakui dalam hukum perdata, sehingga memungkinkan adanya tuntutan kompensasi atas kerugian materiil dan immateriil yang dialami.
Penutup :
Kecurangan dalam pemilu adalah pelanggaran serius terhadap nilai-nilai demokrasi dan integritas bangsa. Ketika penyelenggara pemilu, yang seharusnya menjadi pilar independen dan netral, justru terlibat dalam manipulasi suara, maka kepercayaan publik terhadap proses demokrasi runtuh. Namun, dengan adanya lembaga seperti Bawaslu yang bertindak sebagai pengawas, setiap pelanggaran harus diungkap dan diproses secara hukum yang tegas. Hanya dengan penegakan hukum yang konsisten dan transparan, pemilu yang bersih dan adil dapat terwujud, serta kepercayaan masyarakat terhadap sistem demokrasi dapat dipulihkan. Keadilan harus ditegakkan agar setiap suara rakyat dihargai dengan benar, karena setiap suara adalah nyawa dari demokrasi itu sendiri.
Tulisan ini merupakan Opini Penulis berdasarkan kejadian / pengalamannya saat mendampingi kliennya pada Sengketa Pemilu Legislatif 2024. Dan tulisan ini dibuat tanpa maksud dan tujuan mendiskreditkan pihak manapun.