Siapkan biaya 5 juta kalau melaporkan Advokat nakal.

  • Bagikan

Malang, Jatimhits.com – Kontroversi Biaya Rp 5 Juta, seorang advokat berinisial A.A dilaporkan secara resmi kepada Dewan Kehormatan Perhimpunan Advokat Indonesia (PERADI) Cabang Malang oleh mantan kliennya akibat dugaan pelanggaran etika profesi yang berat. Kasus ini menyoroti praktik “pindah kubu”, di mana sang advokat yang semula membela penggugat dalam suatu sengketa perdata, beralih membela pihak tergugat.

Berdasarkan laporan, advokat A.A sebelumnya ditunjuk sebagai kuasa hukum penggugat dan terlibat aktif dalam penyusunan Akta Perdamaian pada 9 Maret 2022 mengenai sengketa pembatalan jual beli tanah. Yang menjadi pangkal persoalan, setelah akta tersebut disahkan, A.A justru beralih menjadi kuasa hukum tergugat untuk menagih pelaksanaan akta perdamaian yang notabene disusunnya sendiri. Ironisnya, pelapor juga menyatakan isi akta tersebut tidak sesuai dengan kehendaknya sebagai klien awal.

Selain kasus etiknya, proses pelaporan ini turut menyoroti sisi lain yang dinilai kontroversial. Pelapor dikenai biaya administrasi sebesar Rp 5.000.000 (lima juta rupiah) untuk mengajukan laporan ke Dewan Kehormatan. Kebijakan ini menuai kritik karena dinilai tidak peka dan membebani masyarakat pencari keadilan yang justru menjadi korban dari pelanggaran etika. Hal ini dianggap bertolak belakang dengan komitmen negara melalui anggaran bantuan hukum untuk menjamin akses keadilan yang terjangkau.

Komentar Pakar Hukum: “Pelanggaran Serius dan Layak Dipecat”

Menanggapi fenomena “pindah kubu” seperti dalam kasus ini, Fajar Santosa SH., MH., advokat senior dan anggota Divisi Pembelaan Profesi PERADI Malang, menerangkan bahwa perilaku semacam itu diduga kuat melanggar beberapa ketentuan dalam Kode Etik Advokat.

“Jika mengacu pada ketentuan Kode Etik Advokat yang disepakati oleh setidaknya tujuh organisasi pendiri Peradi, maka dapat diidentifikasi beberapa pasal yang relevan,” ujar Fajar kepada indoindikator.com.

Beliau merinci pelanggaran tersebut:

· Pasal 4 huruf (b): Advokat tidak dibenarkan memberikan keterangan yang dapat menyesatkan klien.
· Pasal 4 huruf (H): Kewajiban mutlak untuk memegang rahasia jabatan bahkan setelah hubungan advokat-klien berakhir.
· Pasal 4 huruf (j): Kewajiban mengundurkan diri jika menangani kepentingan bersama lalu timbul konflik.

“Tindakan ini juga dapat dimaknai sebagai pengabaian dan penelantaran klien berdasarkan Pasal 6 UU No. 18 tahun 2003 tentang Advokat. Terdapat preseden bahwa pelanggaran konflik kepentingan seperti ini adalah pelanggaran serius yang layak dijatuhi hukuman berat, yaitu pemecatan dari keanggotaan organisasi profesi,” tegas dosen UIN Malang ini.

Fajar menekankan betapa seriusnya pelanggaran ini karena advokat memiliki akses terhadap informasi rahasia dan strategi hukum mantan klien yang dapat digunakan untuk keuntungan pihak lawan, sehingga merusak fondasi hubungan fidusia (kepercayaan).

Mekanisme Pengaduan: Benteng Terakhir Profesi

Menjawab pertanyaan tentang langkah yang dapat diambil masyarakat, Fajar menjelaskan bahwa mekanisme yang ada adalah dengan melaporkan ke Dewan Kehormatan (DK).

“Di sisi lain, advokat juga berhak dianggap tidak bersalah hingga terbukti sebaliknya. Sebuah pengaduan bisa saja berasal dari kesalahpahaman. Oleh karena itu, diperlukan mekanisme yang adil dan transparan, yaitu Pemeriksaan Dewan Kehormatan,” jelas Managing Partner Padepokan Hukum Lesanpura ini.

Fajar mengakui bahwa mekanisme pengaduan dan pemeriksaan advokat merupakan benteng terakhir untuk menjaga martabat, kehormatan, dan akuntabilitas profesi. Bagi masyarakat, ini adalah jalur hukum untuk memperoleh keadilan. Bagi advokat, ini adalah bentuk perlindungan dari pengaduan yang tidak berdasar sekaligus kontrol internal untuk menyaring oknum yang merusak nama baik profesi mulia (officium nobile) ini.

Mengenai Biaya Pelaporan yang menuai protes, Fajar berpendapat bahwa idealnya mekanisme pengaduan harus mudah diakses dan tidak membebani masyarakat. “Prinsipnya, akses terhadap keadilan dan pengaduan etik semestinya dapat dijangkau oleh semua lapisan masyarakat. Kebijakan biaya perlu dikaji ulang agar tidak menjadi hambatan bagi korban pelanggaran etika untuk memperjuangkan haknya,” pungkasnya.

  • Bagikan
Exit mobile version