Sri Radjata Sebut Komisi Reformasi Polri Cuma “Ecek-ecek”, Ini Buktinya

  • Bagikan

Foto: Pengamat peringatkan Presiden Prabowo soal polemik ijazah Jokowi. (Instagram/prabowo)

JAKARTA – Mantan anggota aktif Badan Intelijen Negara (BIN) Sri Radjasa Chandra mengingatkan Presiden Prabowo Subianto harus mulai ikut campur dalam polemik ijazah Joko Widodo (Jokowi) dengan Roy Suryo cs.

Tudingan palsu pada ijazah Jokowi sudah sampai di tahap penetapan tersangka kepada 8 orang, termasuk Roy Suryo, Rismon Sianipar, dan Tifauzia Tyassuma dokter Tifa.

Menurut Sri Radjasa, jika penetapan tersangka kemudian dilanjutkan dengan penahanan, akan berpengaruh pada legitimasi publik kepada Presiden Prabowo.

Klaim Kasus Ijazah Jokowi Bisa Berdampak untuk Presiden Prabowo

Legitimasi atau pengakuan masyarakat kepada Prabowo sebagai presiden, kata Sri Radjasa bisa terganggu karena sikap diamnya terhadap polemik ijazah Jokowi tersebut.

“Dampaknya sangat luas sekali, nggak main-main. Jadi, buat saya dalam situasi seperti ini, Prabowo sebagai presiden harus campur tangan untuk menyelesaikan kasus ini agar tidak berkepanjangan,” ujar Sri Radjasa dalam video podcast di kanal YouTube Forum Keadilan TV yang dikutip pada Sabtu, 22 November 2025.

“Tapi ketika dia (Prabowo) membiarkan kasus ini, artinya kan ada upaya melegitimasi tindakan Polri yang jauh dari semangat reformasi. Itu hati-hati yang saya bilang, jangan main-main,” lanjutnya.

Peringatkan Demo Masyarakat Bisa Ditujukan pada Prabowo

Sri Radjasa menambahkan bahwa ke depannya, reaksi publik bisa berubah dan aksi demo nantinya akan ditujukan kepada Prabowo.

“Ke depan, publik, masyarakat akan demo ya sasarannya kepada Presiden (Prabowo) bukan Jokowi,” lanjutnya.

Hal itu, menurutnya juga berkaitan dengan harapan yang digantungkan masyarakat kepada Prabowo sebagai Presiden untuk melakukan reformasi pada Polri.

Sayangnya, dari anggota yang dipilih untuk masuk ke dalam tim Komisi Percepatan Reformasi Polri, kata Sri Radjasa membuat kepercayaan publik menurun.

“Jelas (ada harapan), tapi ketika sudah terbentuk, melihat komposisinya, (kepercayaan) publik surut kembali,” imbuhnya.

“Jangan-jangan ini cuma ecek-ecek aja, apalagi kemudian Sigit (Kapolri) tidak diganti bahkan masuk ke dalam tim, jadi pertanyaan besar,” ucap Sri Radjasa.

Pertanyakan Alasan Petinggi Polri di Komisi Reformasi Polri

Sri Radjasa melanjutkan klaimnya dengan mengatakan bahwa pembentukan Komisi Reformasi Polri dan penunjukkan anggotanya cukup menjadi pertanyaan publik.

“Memang dari awal kehadiran mereka (petinggi Polri) sebagai tim reformasi itu sudah tanda tanya besar, bukan hanya kami tapi juga publik, ‘Kok seperti ini?’” tambahnya.

Sehingga menurutnya, dengan melibatkan mantan petinggi Polri itu justru memberikan kesan seolah reformasi Polri tak dilakukan dengan sepenuh hati.

“Kondisi ini jadi kayak ada reformasi setengah hati,” kata Sri Radjasa.

Meski ada nama-nama yang diharapkan publik untuk menjadi bagian dari komisi tersebut, namun muncul petinggi Polri, menurutnya menjadi sesuatu yang tak wajar.

“Ada Pak Mahfud, Pak Jimly yang diharapkan publik, tapi ketika masuk nama Tito, Sigit, nama-nama lain yang mereka adalah bagian dari pimpinan Polri yang membuat Polri ini harus direformasi,” jelasnya.

“Artinya kan tidak elok ya, ketika mereka melakukan sesuatu yang membuat polisi inni rusak kemudian mereka ada di dalam untuk memperbaiki. Pasti dia akan tutupin karena ini dampaknya ada persoalan hukum ke depan atau nama baik mereka,” terangnya.

Aksi Walk Out Mediasi Ijazah Jokowi Bentuk Tak Percaya pada Komisi Reformasi Polri

Mengenai aksi walk out yang dilakukan sejumlah tokoh bersama Roy Suryo, Tifauzia Tyassuma, Rismon Hasiholan Sianipar, dan Muhammad Rizal Fadillah saat mediasi ijazah Jokowi pada 19 November 2025 lalu disebutnya sebagai ketidakpercayaan kepada Komisi Reformasi Polri.

“Ini (walk out) adalah satu bukti, satu indikasi tim Reformasi Polri tidak patut dipercaya, itu aja,” ucap Sri Radjasa.

Alasan walk out dilakukan usai ketua Komisi Reformasi Polri, Jimly Asshiddiqie, meminta Roy Suryo dan para tersangka yang turut hadir dalam pertemuan itu untuk keluar dari ruangan atau tetap hadir tapi tidak memberikan pendapat.

“Itu kan satu bentuk ada kompromi antara sipil dengan mantan polisi dan polisi yang masih aktif di tim reformasi. Itu udah kelihatan,” sambungnya.

“Saya nggak berharap lagi, saya dan mereka yang walk out tidak berharap bahwa reformasi ini akan on the track,” tandasnya.

Sementara itu, 5 dari 10 anggota komisi reformasi Polri sekaligus petinggi Polri adalah Jenderal (Purn) Tito Karnavian yang merupakan Kapolri tahun 2016-2019, Jenderal Pol Listyo Sigit Prabowo yang menjabat Kapolri saat ini, Jenderal (Purn) Badrodin Haiti yang pernah menjadi Kapolri 2015-2016, Jenderal (Purn) Idham Azis pernah menjadi Kapolri 2019-2021, dan Jenderal (HOR) (Pur) Ahmad Dofiri merupakan Wakapolri 2024-2025.
 

Red

  • Bagikan
Exit mobile version