Dirjen Bea Cukai Sebut Perokok Tak Peduli Harga: “Yang Penting Mulutnya Berasap”

  • Bagikan

FOTO ilustrasi – Dirjen Bea Cukai paparkan kendala pemberantasan rokok ilegal. (Unsplash/haim_charbit18)

JAKARTA – Direktur Jenderal Bea dan Cukai Kementerian Keuangan (DJBC Kemenkeu) Djaka Budi Utama, membeberkan produksi rokok dalam negeri meningkat.

Pasalnya, masih banyak permintaan dari konsumen rokok sehingga produsen terus memproduksi, sehingga kebijakan Cukai Hasil Tembakau (CHT) diakui belum efektif.

Hal tersebut diungkap oleh Djaka ketika Bea Cukai rapat kerja bersama dengan Komisi XI DPR RI pada Senin, 24 November 2025.

Merokok Sudah Jadi Kebiasaan Masyarakat

Djaka menyebut bahwa saat ini masyarakat sudah tidak peduli dengan besaran harga rokok, selama kebiasaan tersebut tetap berjalan.

“Sekarang ini masyarakat sepertinya sudah jenuh dengan tingkat harga rokok sehingga yang penting mereka mulutnya berasap, jadi tidak memperhatikan apakah itu mahal atau tidak, yang penting mulutnya berasap,” ujar Djaka dalam rapat tersebut.

“Jadi, sepertinya selama budaya atau kebiasaan masyarakat merokok, yang pasti akan terus merokok,” imbuhnya.

Kebijakan CHT Belum Efektif Menekan Produksi Rokok

CHT atau Cukai Hasil Tembakau merupakan kebijakan pungutan pajak pada produk tembakau yang bertujuan untuk mengendalikan konsumsi dan mengawasi peredaran.

Kebijakan tersebut, diakui Djaka belum bisa efektif, sehingga produksi rokok masih belum bisa ditekan.

“Berkaitan dengan kebijakan CHT, tampaknya belum efektif menekan produksi rokok,” ucap Djaka.

Djaka lantas menyinggung kelompok atau komunitas yang sering menggalakkan antirokok pun belum berhasil menghentikan para perokok.

“Jadi, walaupun kelompok-kelompok antirokok ini menggencarkan kampanye, tapi masyarakat masih suka merokok, itu akan terus berjalan,” imbuhnya.

Meski begitu, Djaka menyebut akan diimbangi dengan peningkatan Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau (DBHCT) untuk kebutuhan kesehatan.

“Mungkin kita antisipasi atau kita kembangkan bagaimana DBHC itu untuk kesehatan masyarakat,” tambahnya.

Soal Pemberantasan Rokok Ilegal: Terpengaruh Daya Beli Masyarakat

Mengenai pemberantasan rokok ilegal, Djaka tak memungkiri masih ada kendala yang dihadapi di lapangan.

“Faktor daya beli masyarakat yang masih mencari rokok murah, kecenderungan perokok merupakan masyarakat kelas bawah,” kata Djaka.

“Seperti saya bilang, masyarakat itu tahunya mulutnya berasap, nggak memperhatikan merek, yang dicari juga yang harganya murah,” sambungnya.

Produksi Rokok di Indonesia

Hingga akhir Oktober 2025, DJBC mencatat produksi rokok mencapai 258,4 miliar batang, turun 2,8 persen secara tahunan dibandingkan 2024, yakni 265,9 miliar batang.

Penurunan terjadi pada golongan 1, dari 138,7 miliar batang menjadi 125,7 miliar batang, sementara produksi golongan 2 dan 3 justru meningkat.

Produksi golongan 2 naik 3,2 persen dari 74,2 miliar batang pada Oktober 2024 menjadi 76,5 miliar batang pada Oktober 2025.

Adapun golongan 3 mengalami kenaikan 6 persen dari 53,1 miliar batang menjadi 56,2 miliar batang.

Tarif Cukai Rokok Tidak Naik di 2026

Menteri Keuangan (Menkeu) Purbaya Yudhi Sadewa telah menegaskan bahwa pemerintah tidak akan menaikkan cukai rokok di tahun 2026 mendatang.

Keputusan tersebut disampaikan usai Purbaya bertemu dengan perwakilan dari Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok Indonesia (GAPPRI) pada Jumat, 26 September 2025.

Perwakilan yang hadir kata Purbaya di antaranya adalah Djarum, Gudang Garam, Wismilak, dan lainnya.

“Satu hal yang saya diskusikan dengan mereka, apakah saya perlu merubah tarif cukai ya tahun 2026, mereka bilang asal nggak dirubah udah cukup, ya sudah, saya tidak ubah,” ucap Menkeu Purbaya kepada awak media di Kantor Kemenkeu Jakarta pada 26 September 2025 lalu.

“Tadinya padahal saya mikir mau nurunin, dia minta saya nggak ubah, udah cukup, ya sudah. Salahin mereka sendiri, ntar nyesel lho. Tau gitu minta turun, untungnya minta konstan aja. Jadi, tidak kita naikin,” kelakarnya kala itu.
 

Red

  • Bagikan
Exit mobile version